adalah sebuah kompleks candi agama
Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah kelurahan
Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, eks
Karesidenan Surakarta,
Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan
lingga dan
yoni.
Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim
dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan
seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke
UNESCO untuk menjadi salah satu
Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Sejarah singkat penemuan
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan
Britania Raya di tanah
Jawa pada tahun
1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh
Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya
The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun
1842, Van der Vlis,
arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun
1928.
[sunting] Lokasi candi
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki
Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186
meter di atas permukaan laut pada koordinat 07
o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111
o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh
Berjo, Desa
Sukuh, kecamatan
Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20
kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari
Surakarta.
Struktur bangunan candi
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok
pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh
berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di
Jawa Tengah lainnya yaitu
Candi Borobudur dan
Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di
Meksiko atau peninggalan budaya Inca di
Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk
piramida di
Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda,
W.F. Stutterheim,
pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga
argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang
batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan
keraton.
Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi.
Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan
Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura
terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun
tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di
atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis
andesit.
[sunting] Teras pertama candi
Gapura utama candi Sukuh.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah
sangkala dalam
bahasa Jawa yang berbunyi
gapura buta abara wong. Artinya dalam
bahasa Indonesia
adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki
makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau
tahun
1437 Masehi.
Teras kedua candi
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang
biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula,
namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura
sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak
patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah
candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi
gajah wiku anahut buntut.
Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”.
Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka
didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun
1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!
Teras ketiga candi
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan
beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.
Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka
batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak
sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon
arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip
dengan bentuk
vagina
ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan
para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan
mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila
ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang
dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur
sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini
terdapat bekas-bekas
kemenyan,
dupa dan
hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian
relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah
diidentifikasi sebagai relief cerita
Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para
Pandawa Lima.
Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang
kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan
keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu
mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu:
Yudhistira,
Bima dan
Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang
punakawan
atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh
wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief kedua
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah
menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua
orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga
yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan
Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati
Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa
terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak
mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar.
Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah
kanan ada dua ekor
burung hantu.
Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan
Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir
dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya,
Semar
berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni
Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari
kebutaannya.
Relief keempat
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama
dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di
pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya
kepada Sadewa untuk dinikahinya.
[sunting] Relief kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua
raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa
sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku
pañcanakanya.
Patung-patung sang Garuda
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung
Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian
tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab
Adiparwa, kitab pertama
Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di
bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi
dan penjelmaan Dewa
Wisnu.
Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang
didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya
terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk
mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
- Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta
Beberapa bangunan dan patung lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta
relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk
celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria
dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia
di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain.
Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita
dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan
melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut
candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat
patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih
dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.